BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Kamis, 19 Februari 2009

"10 november`45

Tulisan ini merupakan cuplikan dari buku Batara R. Hutagalung: “10 November ’45. Mengapa Inggris Membom Surabaya?" Millenium Publisher, Jakarta Oktober 2001, xvi + 472 halaman.


Pertempuran 28 – 30 Oktober 1945
Pada bulan Agustus 1943 di Quebec, Kanada, dicapai kesepakatan antara Presiden Roosevelt dan Perdana Menteri Inggris Churchill, untuk membentuk South East Asia Command (SEAC –Komando Asia Tenggara), dan mulai tanggal 16 November, SEAC di bawah pimpinan Vice Admiral Lord Louis Mountbatten. Wewenang SEAC meliputi Sri Lanka, sebagian Assam, Birma, Thailand, Sumatera, dan beberapa pulau kecil di Lautan Hindia.
Pulau-pulau lain dari wilayah bekas Hindia Belanda berada di bawah wewenang Letnan Jenderal Douglas MacArthur, Panglima tentara Sekutu Komando Wilayah Pasifik Baratdaya (South West Pacific Area Command – SWPAC).
Setelah Jepang menyerah pada 15 Agustus 1945, MacArthur diperintahkan untuk segera membawa pasukannya ke Jepang, dan kewenangan atas wilayah SWPAC diserahkan kepada Mountbatten.
Mengenai penambahan tugas yang diberikan kepadanya, Mountbatten menulis:
“Having taken over the NEI (Netherlands East Indies – pen.) from the South-West Pacific Area without any intelligence reports, I had been given no hint of the political situation which had arisen in Java. It was known of course, that an Indonesian Movement had been in existence before the war; and that it had been supported by prominent intellectuals, some of whom had suffered banishment for their participation in nationalist propaganda –but no information had been made available to me as to the fate of this movement under the Japanese occupation.
Dr. H.J. van Mook, Lieut.-Governor-General of the NEI who had come to Kandy on 1st September, had given me no reason to suppose that the reoccupation of Java would present any operational problem beyond the of rounding up the Japanese.”
Catatan Admiral Lord Mountbatten tersebut menunjukkan dengan jelas, bahwa informasi yang diberikan oleh Dr. van Mook kepada Mountbatten salah dan menyesatkan sehingga berakibat sangat fatal, bukan saja bagi rakyat Indonesia, namun juga bagi tentara Inggris, sebagaimana kemudian dialami oleh Brigade 49 di Surabaya bulan Oktober 1945.
Secara resmi, tugas pokok yang diberikan oleh pimpinan Allied Forces kepada Mountbatten adalah:
1. melucuti tentara Jepang serta mengatur pulangkan kembali ke negaranya (The disarmament and removal of the Japanese Imperial Forces),
2. membebaskan para tawanan serta interniran Sekutu yang ditahan oleh Jepang di Asia Tenggara (RAPWI - Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees), termasuk di Indonesia, serta
3. menciptakan keamanan dan ketertiban (Establishment of law and order).
Namun di kemudian hari, ternyata ada tugas rahasia yang dilakukan oleh tentara Inggris -dengan mengatasnamakan Sekutu- yaitu mengembalikan Indonesia sebagai jajahan kepada Belanda. Pada waktu itu, para pemimpin Indonesia belum mengetahui adanya hasil keputusan konferensi Yalta yang sehubungan dengan Asia, yaitu mengembalikan situasi kepada status quo, seperti sebelum invasi Jepang tahun 1941; dan juga belum diketahui ada perjanjian bilateral antara Belanda dan Inggris di Chequers, mengenai komitmen bantuan Inggris kepada Belanda. Selain itu, pernyataan kontroversial yang dikeluarkan oleh Jenderal Sir Philip Christison di Singapura sebelum berangkat ke Jakarta –mungkin waktu itu pernyataan tersebut tulus disampaikannya- telah membesarkan hati pimpinan Republik Indonesia. Dengan demikian boleh dikatakan, bahwa para pemimpin Republik Indonesia waktu itu terkecoh oleh Inggris.
Mungkin jalan sejarah akan lain, apabila waktu itu telah diketahui isi surat Mountbatten kepada komandan-komandan pasukan, terutama apabila pimpinan Republik Indonesia telah mengetahui adanya kesepakatan Inggris dengan Belanda di Chequers tanggal 24 Agustus 1945. Apabila hal-hal tersebut telah diketahui pada waktu itu, dapat dipastikan bahwa para pimpinan Republik –terutama dari garis keras- tidak akan menerima perdaratan tentara Sekutu, yang di banyak tempat ternyata membawa perwira dan serdadu Belanda dengan berkedok RAPWI. Paling sedikit, perlawanan bersenjata telah dimulai di seluruh Indonesia sejak September 1945, dan tidak pada akhir bulan Oktober/awal November, di mana tiga divisi British-Indian Divisions secara lengkap telah mendarat di Jawa dan Sumatera.
Untuk pelaksanaan tugasnya, Mountbatten membentuk Allied Forces in the Netherlands East Indies (AFNEI) –Tentara Sekutu di Hindia Belanda; dan jabatan Komandan AFNEI, semula dipegang oleh Rear Admiral Sir Wilfred Patterson, yang kemudian digantikan oleh Letnan Jenderal Sir Philip Christison, juga seorang bangsawan Inggris. Christison sendiri baru tiba di Jakarta tanggal 30 September 1945. Pasukan yang akan ditugaskan adalah British-Indian Divisions, yaitu Divisi 5 di bawah Mayor Jenderal Robert C. Mansergh untuk Jawa Timur, Divisi 23 di bawah Mayor Jenderal Douglas Cyril Hawthorn untuk Jawa Barat dan Tengah dan Divisi ke 26 di bawah Mayor Jenderal H.M. Chambers untuk Sumatera.
Brigade 49, dengan julukannya “The Fighting Cock” di bawah pimpinan Brigadir Jenderal Aubertin Walter Sothern Mallaby, 42 tahun, mendarat di surabaya tanggal 25 Oktober 1945. Brigade 49 adalah bagian dari Divisi 23, yang seharusnya ditugaskan untuk Jawa Barat dan Jawa Tengah, namun karena Divisi 5 yang seharusnya ditugaskan ke Jawa Timur, masih tertahan di Malaysia, oleh karena itu, Mallaby diperintahkan untuk segera ke Surabaya.
Pada tanggal 27 Oktober 1945 sekitar pukul 11.00, satu pesawat terbang Dakota yang datang dari Jakarta, menyebarkan pamflet di atas kota Surabaya. Isi pamflet -atas instruksi langsung dari Mayor Jenderal Hawthorn, panglima Divisi 23- yang disebarkan di seluruh Jawa, memerintahkan kepada seluruh penduduk untuk dalam waktu 2 x 24 jam menyerahkan semua senjata yang mereka miliki kepada Perwakilan sekutu di Surabaya, yang praktis ketika itu hanya diwakili tentara Inggris. Dalam seruan tersebut tercantum a.l.:
“Supaya semua penduduk kota Surabaya dan Jawa Timur menyerahkan kembali semua senjata dan peralatan Jepang kepada tentara Inggris….Barangsiapa yang memiliki senjata dan menolak untuk menyerahkannya kepada tentara Sekutu, akan ditembak di tempat (persons beeing arms and refusing to deliver them to the Allied Forces are liable to be shot).”

Dikabarkan, bahwa Mallaby sendiri terkejut dengan isi pamflet, karena jelas bertentangan dengan kesepakatan antara pihak Inggris dan Indonesia tanggal 26 Oktober, sehari sebelum pamflet tersebut disebarkan. Namun pimpinan brigade Inggris mengatakan, mereka terpaksa melakukan perintah atasan. Mereka mulai menahan semua kendaraan dan menyita senjata dari pihak Indonesia. Maka berkobarlah api kemarahan di pihak Indonesia, karena mereka menganggap pihak Inggris telah melanggar kesepakatan yang ditandatangani tanggal 26 Oktober. Di samping itu langkah-langkah Inggris yang akan mendudukkan Belanda kembali sebagai penguasa di Indonesia kian nyata. Gubernur Suryo segera mengirim kawat yang disusul dengan laporan panjang lebar ke Pemerintah Pusat di Jakarta. Jawaban baru diterima sekitar pukul 15.00 dan berbunyi:
“Diminta kebijaksanaan Pemerintah Jawa Timur setempat agar pihak ketentaraan dan para pemuda-pemudanya tidak melakukan perlawanan terhadap tentara Sekutu…”

Gubernur Suryo tidak berhasil menemui Mayor Jenderal drg. Mustopo, lalu menyerahkan kawat tersebut kepada Residen Sudirman. Tepat pukul 17.00, Residen Sudirman tiba di markas Divisi TKR Surabaya di Jalan Embong Sawo dan menyerahkan kawat tersebut kepada komandan Divisi, Mayor Jenderal Yonosewoyo.
Tak lama kemudian, datang Kolonel Pugh, yang menyampaikan pendirian Brigadier Mallaby mengenai seruan pamflet terrsebut, bahwa Mallaby akan melaksanakan tugas, sesuai perintah dari Jakarta. Pugh kembali ke markasnya, tanpa mendapat jawaban dari pimpinan Divisi TKR.
Setelah kepergian Kolonel Pugh, dilakukan perundinngan sekitar setengah jam antara Residen Sudirman dan Panglima Divisi Yonosewoyo, dengan keputusan: “Komando Divisi Surabaya akan segera memberikan jawaban terhadap ultimatum tersebut secara militer.”
Dalam pertemuan kilat pimpinan Divisi TKR Surabaya, dibahas berbagai pertimbangan dan diperhitungkan beberapa kemungkinan yang akan terjadi. Apabila mereka menyerahkan senjata kepada Sekutu, berarti pihak Indonesia akan lumpuh, karena tidak mempunyai kekuatan lagi. Apabila tidak menyerahkan senjata, ancamannya akan ditembak di tempat oleh pasukan Inggris/ Sekutu.
Kubu Indonesia memperhitungkan, pihak Inggris tidak mengetahui kekuatan pasukan serta persenjataan lawannya. Sedangkan telah diketahui dengan jelas, bahwa kekuatan Inggris hanyalah satu brigade, atau sekitar 5.000 orang. Artinya, kekuatan musuh jauh di bawah kekuatan Indonesia di Surabaya dan sekitarnya, yang memiliki pasukan bersenjata kurang lebih 30.000 orang. Jenis senjata yang dimiliki mulai dari senjata ringan hingga berat, termasuk meriam dan tank peninggalan Jepang yang, sebagian terbesar masih utuh. Selain kekuatan pasukan terbatas, pasukan Inggris yang baru 2 hari mendarat, dipastikan tak mengerti liku-liku kota Surabaya.
Sesuai dengan strategi Carl von Clausewitz, pakar teori militer Prusia, bahwa: ”Angriff ist die beste Verteidigung” (Menyerang adalah pertahanan yang terbaik), maka dengan suara bulat diputuskan: “Menyerang Inggris!”.
Perintah diberikan langsung oleh Komandan Divisi Surabaya, Mayor Jenderal Yonosewoyo. Subuh baru merekah. Serangan besar-besaran pun mulai dilancarkan pada hari Minggu, 28 Oktober pukul 4.30 dengan satu tekad, tentara Inggris yang membantu Belanda, harus dihalau dari Surabaya, dan penjajah harus dipaksa angkat kaki dari bumi Indonesia. Praktis seluruh kekuatan bersenjata Indonesia yang berada di Surabaya bersatu. Juga pasukan-pasukan dan sukarelawan Palang Merah/kesehatan dari kota-kota lain di Jawa Timur a.l. dari Sidoarjo, Gresik, Jombang dan Malang berdatangan ke Surabaya untuk membantu.
Hal ini benar-benar di luar perhitungan Inggris, terutama mereka tidak mengetahui kekuatan dan persenjataan pihak Indonesia. Selama ini, informasi yang mereka peroleh mengenai Indonesia, hanya dari pihak Belanda, sedangkan Belanda sendiri diperkirakan tidak mengetahui perkembangan yang terjadi di Surabaya –di Indonesia pada umumnya- sejak Belanda menyerah kepada Jepang tanggal 8 Maret 1942. Sebagian terbesar dari mereka diinternir oleh Jepang, dan baru dibebaskan pada akhir Agustus 1945. Nampaknya, informasi yang diberikan oleh Belanda kepada Inggris sangat minim, atau salah.
Di samping BKR/TKR yang menjadi cikalbakal TNI, juga tercatat sekitar 60 pasukan dan laskar yang didirikan oleh para pemuda atau karyawan berbagai profesi, Pasukan Pelajar (TRIP), Pasukan BKR Tanjung Perak, Pasukan Kimia TKR, Pasukan Genie Tempur (Genie Don Bosco), Pasukan BKR Kereta Api, Pasukan BKR Pekerjaan Umum, Pasukan Sriwijaya, Pasukan Buruh Laut, Pasukan Sawunggaling, TKR Laut, Barisan Hizbullah, Lasykar Minyak, TKR Mojokerto, TKR Gresik, Pasukan Jarot Subiantoro, Pasukan Magenda Bondowoso, Pasukan Sadeli Bandung. Selain itu ada pula pasukan-pasukan pembantu seperti Corps Palang Merah, Corps Kesehatan, Corps PTT, Corps Pegadaian, bahkan ada juga Pasukan Narapidana Kalisosok, dll. Puluhan kelompok pemuda yang berasal dari suku tertentu membentuk pasukan sendiri, seperti misalnya Pasukan Pemuda Sulawesi (KRIS-Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi), Pasukan Pemuda Kalimantan, Pemuda Ponorogo, dan juga ada Pasukan Sriwijaya, yang sebagian terbesar terdiri dari pemuda mantan Gyugun (sebutan Heiho di Sumatera) dari Batak dan ada juga yang dari Aceh. Pasukan Sriwijaya ini telah mempunyai pengalaman bertempur melawan tentara Sekutu di Morotai, Halmahera Utara.
Bukan saja BKR/TKR yang menjadi cikalbakal Angkatan Darat, melainkan dibentuk juga pasukan Laut dan Udara. Tercatat a.l. Pasukan BKR Laut/TKR Laut Tanjung Perak, Pasukan Angkatan Muda Penataran Angkatan Laut, Pasukan BKR/TKR Udara di Morokrembangan.
Selain pasukan-pasukan yang bersenjata, diperkirakan lebih dari 100.000 pemuda dari Surabaya dan sekitarnya, hanya dengan bersenjatakan bambu runcing dan clurit ikut dalam pertempuran selama tiga hari. Kebanyakan dari mereka yang belum memiliki senjata, bertekad untuk merebut senjata dari tangan tentara Inggris.
Selain para wanita yang rela berkorban sebagai anggota Palang Merah, juga tak dapat diabaikan peran serta ibu-ibu juru masak dan yang membantu di dapur umum yang didirikan untuk kepentingan para pejuang Republik Indonesia. Para pejuang dan sukarelawan itu bukan hanya penduduk Surabaya, melainkan berdatangan dari kota-kota lain di sekitar Surabaya, seperti Gresik, Jombang, Sidoarjo, Pasuruan, Bondowoso, Ponorogo bahkan dari Mojokerto, Malang, pulau Madura, dan Bandung.
Inggris Mengibarkan Bendera Putih
Serbuan ke pos-pos pertahanan Inggris di tengah kota dilengkapi dengan blokade total: Aliran listrik dan air di wilayah pos pertahanan Inggris dimatikan. Truk-truk yang mengangkut logistik untuk pasukan Inggris, terutama yang akan mengantarkan makanan dan minuman bisa dicegah. Kekacauan demi kekacauan menyebabkan suplai yang dijatuhkan pesawat Inggris dari udara, ikut pula terganggu. Tidak sedikit yang meleset dari sasaran, bahkan boleh dikatakan hampir semua jatuh ke tangan pasukan Indonesia.
Dalam penyerbuan itu, korban di pihak Indonesia tidak sedikit, sebab berbagai pasukan –khususnya laskar pemuda- tanpa pendidikan militer dan pengalaman tempur, hanya bermodalkan semangat dan banyak yang hanya bersenjatakan clurit atau bambu runcing, begitu bersemangat maju menggempur musuh yang notabene tentara profesional.
Dengan bermodalkan keberanian serta semangat ingin mempertahankan kemerdekaan dan tak mau dijajah lagi, para pejuang Indonesia akhirnya mampu memporak-porandakan kubu Inggris. Setelah dua hari tidak menerima kiriman makanan dan minuman, serta korban yang jatuh di pihak mereka sangat besar, pasukan Inggris akhirnya mengibarkan bendera putih, meminta berunding.
Mallaby menyadari, bila pertempuran dilanjutkan, tentara Inggris akan disapu bersih, seperti tertulis dalam kesaksian Capt. R.C. Smith:
“…….. on further consideration, he (Mallaby, red.) decided that the company had been in so bad a position before, that any further fighting would lead to their being wiped out. "

Walaupun ia sadari tidak ada pilihan lain, tetapi ketika persyaratan yang diajukan Indonesia antara lain Inggris harus angkat kaki dari Surabaya dan meninggalkan persenjataan yang ada di pos-pos pertahanan yang telah dikepung, Mallaby menilai tampaknya terlalu berat baginya sebagai pimpinan tentara yang baru memenangkan Perang Dunia II untuk melakukan hal itu.

Presiden Sukarno Diminta Melerai “Insiden Surabaya”
Ternyata pada hari pertama penyerbuan rakyat Indonesia terhadap pos-pos pertahanan tentara Inggris di Surabaya, pimpinan tentara Inggris menyadari, bahwa mereka tidak akan kuat menghadapi gempuran rakyat Indonesia di Surabaya. Mallaby (lihat kesaksian Kapten R.C. Smith) memperhitungkan, bahwa Brigade 49 ini akan “wiped out” (disapu bersih), sehingga pada malam hari tanggal 28 Oktober 1945, mereka segera menghubungi pimpinan tertinggi tentara Inggris di Jakarta untuk meminta bantuan. Menurut penilaian pimpinan tertinggi tentara Inggris, hanya Presiden Sukarno yang sanggup mengatasi situasi seperti ini di Surabaya. Kolonel. A.J.F. Doulton menulis:
”The heroic resistance of the british troops could only end in the extermination of the 49th Brigade, unless somebody could quell the passion of the mob. There was no such person in Surabaya and all hope rested on the influence of Sukarno.” (Perlawanan heroik tentara Inggris hanya akan berakhir dengan musnahnya Brigade 49, kecuali ada yang dapat mengendalikan nafsu rakyat banyak itu. Tidak ada tokoh seperti itu di Surabaya dan semua harapan tertumpu pada pengaruh Sukarno).

Panglima Tertinggi Tentara Sekutu untuk Asia Timur, Letnan Jenderal Sir Philip Christison meminta Presiden Sukarno untuk melerai “incident” di Surabaya. Pimpinan tentara Inggris menilai, situasi di Surabaya sangat mengkhawatirkan bagi mereka, sehingga Presiden Sukarno yang sedang tidur, didesak agar segera dibangunkan. Dalam Autobiografi yang ditulis oleh Cindy Adams, Sukarno menuturkan:
“Tukimin yang setia berbisik-bisik. Itu ada seorang yang menamakan dirinya Pembantu Khusus (ADC - aide-de-camp = perwira pembantu –pen.) dari komandan Tentara Inggris. Ia menyatakan, bahwa ada persoalan yang amat penting. Kepadanya telah saya jawab, bahwa Bapak sedang tidur, tetapi ia mendesak agar supaya saya membangunkan Bapak.
Akhirnya setelah saya bangun, selama 30 menit terpaksa berbicara melalui telepon. Tetapi tidak sepatah kata pun apa yang sedang menggelisahkan perasaan saya dari pembicaraan telepon itu saya ungkapkan kepada intern keluarga saya, baik Fatmawati maupun kepada Tukimin. Saya hanya menyatakan bahwa besok pagi saya akan ke Surabaya dengan kapal terbang militer kepunyaan Inggris. Dan kemudian saya kembali ke kamar tidur, dan pelan-pelan menutup pintu.
Saya dengan Hatta, yang baru saja dipilih menjadi Wakil Presiden, selama lebih kurang 2 jam berbicara dengan pihak Sekutu Inggris, tetapi pihak Inggris mengharapkan saya, sebab saya dibutuhkan. Dan saya tahu, bahwa tidak akan ada sesuatu pun yang akan dapat menghentikan persoalan ini.
Di Surabaya, ternyata Inggris telah menempatkan markasnya di gedung-gedung di tengah kota Surabaya sebagai pusatnya….”
infrared_studioOct 3 2008, 08:01 PM
Pada 29 Oktober 1949 di Kompleks Darmo, Kapten Flower yang telah mengibarkan bendera putih, masih ditembaki oleh pihak Indonesia; untung dia selamat, tidak terkena tembakan. Kapten Flower, yang ternyata berkebangsaan Australia, kemudian diterima oleh Kolonel dr. Wiliater Hutagalung. Hutagalung mem-fait accompli, dengan menyatakan:
“We accept your unconditional surrender!”,
dan mengatakan, bahwa pihak Indonesia akan membawa tentara Inggris -setelah dilucuti- kembali ke kapal mereka di pelabuhan.
Pimpinan Republik Indonesia di Jakarta pada waktu itu tidak menghendaki adanya konfrontasi bersenjata melawan Inggris, apalagi melawan Sekutu. Pada 29 Oktober sore hari, Presiden Sukarno beserta Wakil Presiden M. Hatta dan Menteri Penerangan Amir Syarifuddin Harahap, tiba di Surabaya dengan menumpang pesawat militer yang disediakan oleh Inggris. Segera hari itu juga Presiden Sukarno bertemu dengan Mallaby di gubernuran. Malam itu dicapai kesepakatan yang dituangkan dalam “Armistic Agreement regarding the Surabaya-incident; a provisional agreement between President Soekarno of the Republic Indonesia and Brigadier Mallaby, concluded on the 29th October 1945.” Isinya a.l.:
· Perjanjian diadakan antara Panglima Tentara Pendudukan Surabaya dengan PYM Ir. Sukarno, Presiden Republik Indonesia untuk mempertahankan ketenteraman kota Surabaya.
· Untuk menenteramkan, diadakan perdamaian: ialah tembakan-tembakan dari kedua pihak harus diberhentikan.
· Syarat-syarat termasuk dalam surat selebaran yang disebarkan oleh sebuah pesawat terbang tempo hari (yang dimaksud adalah pada tanggal 27 Oktober 1945) akan diperundingkan antara PYM Ir Sukarno dengan Panglima Tertinggi Tentara pendudukan seluruh Jawa pada tanggal 30 Oktober besok.

Mayjen Hawthorn tiba tanggal 30 Oktober pagi hari. Perundingan yang juga dilakukan di gubernuran segera dimulai, antara Presiden Sukarno dengan Hawthorn, yang juga adalah Panglima Divisi 23 Inggris. Dari pihak Indonesia, tuntutan utama adalah pencabutan butir dalam ultimatum/pamflet tanggal 27 Oktober, yaitu penyerahan senjata kepada tentara Sekutu; sedangkan tentara Sekutu menolak memberikan senjata mereka kepada pihak Indonesia. Perundingan alot, yang dimulai sejak pagi hari dan baru berakhir sekitar pukul13.00, menghasilkan kesepakatan, yang kemudian dikenal sebagai kesepakatan Sukarno – Hawthorn. Isi kesepakatan antara lain:
· The Proclamation previously scatttered by aircraft shall be annulled; that is to say, the disarmament of the TKR and the Pemudas shall not be carried out.
· The Allied forces shall not guard the city.
The TKR shall be recognized; its continued use of arms shall be allowed.
Yang terpenting bagi pihak Indonesia dalam kesepakatan ini adalah pencabutan perintah melalui pamflet tertanggal 27 Oktober dan pengakuan terhadap TKR yang bersenjata.

Brigadir Jenderal Mallaby Tewas
Setelah disepakati truce (gencatan senjata) tanggal 30 Oktober, pimpinan sipil dan militer pihak Indonesia, serta pimpinan militer Inggris bersama-sama keliling kota dengan iring-iringan mobil, untuk menyebarluaskan kesepakatan tersebut. Dari 8 pos pertahanan Inggris, 6 di antaranya tidak ada masalah, hanya di dua tempat, yakni di Gedung Lindeteves dan Gedung Internatio yang masih ada permasalahan/tembak-menembak.
Setelah berhasil mengatasi kesulitan di Gedung Lindeteves, rombongan Indonesia-Inggris segera menuju Gedung Internatio, pos pertahanan Inggris terakhir yang bermasalah. Ketika rombongan tiba di lokasi tersebut, nampak bahwa gedung tersebut dikepung oleh ratusan pemuda. Setelah meliwati Jembatan Merah, tujuh kendaraan memasuki area dan berhenti di depan gedung. Para pemimpin Indonesia segera ke luar kendaraan dan meneriakkan kepada massa, supaya menghentikan tembak-menembak.
Kapten Shaw, Mohammad Mangundiprojo dan T.D. Kundan ditugaskan masuk ke gedung untuk menyampaikan kepada tentara Inggris yang bertahan di dalam gedung, hasil perundingan antara Inggris dengan Indonesia. Mallaby ada di dalam mobil yang diparkir di depan Gedung Internatio. Beberapa saat setelah rombongan masuk, terlihat T.D. Kundan bergegas keluar dari gedung, dan tak lama kemudian, terdengar bunyi tembakan dari arah gedung. Tembakan ini langsung dibalas oleh pihak Indonesia. Tembak-menembak berlangsung sekitar dua jam. Setelah tembak-menembak dapat dihentikan, terlihat mobil Mallaby hancur dan Mallaby sendiri ditemukan telah tewas.
Ada dua kejadian pada tanggal 30 Oktober 1945, yang pada waktu itu dilemparkan oleh Inggris ke pihak Indonesia, sebagai yang bertanggung jawab, dan kemudian dijadikan alasan Mansergh untuk “menghukum para ekstremis” dengan mengeluarkan ultimatum tanggal 9 November 1945:
1. Orang-orang Indonesia memulai penembakan, dan dengan demikian telah melanggar gencatan senjata (truce),
2. Orang-orang Indonesia membunuh Brigadier Mallaby.
Tewasnya Mallaby memang sangat kontroversial, tetapi mengenai siapa yang memulai menembak, di kemudian hari cukup jelas. Kesaksian tersebut justru datangnya dari pihak Inggris. Ini berdasarkan keterangan beberapa perwira Inggris yang diberikan kepada beberapa pihak. Yang paling menarik adalah yang disampaikan kepada Tom Driberg, seorang Anggota Parlemen Inggris dari Partai Buruh (Labour). Pada 20 Februari 1946, dalam perdebatan di Parlemen (House of Commons) Tom Driberg, menyampaikan:
“….. some of the press reports from Indonesia have been entirely responsible. In particular, I have learned from officers who have recently returned that some of the stories which have been told, not only in the newspaper, but, I am sorry to say, from the Government Front Bench in his House, have been very far from accurate and have innecessarily imparted prejudice and concerns the lamented death of Brigadier Mallaby. That was announced to us as a foul murder, and we accepted it as such. I have learned from officers who were present when it happened the exact details and it is perfectly clear that Brigadier Mallaby was not murdered but was honourably killed in action……. The incident was somewhat confused –as such incidents are- but it took place in and near Union Square in Surabaya. There had been discussions about a truce earlier in the day. A large crowd of Indonesians –a mob if you like- had gathered in the square and were in a rather excited state.
About 20 Indians, in a building on the other side of the square, had been cut off from telephonic communication and did not know about the truce. They were firing sporadically on the mob. Brigadier Mallaby came out from the discussions, walked straight into the crowd, with great courage, and shouted to the Indians to cease fire. They obeyed him. Possibly half an hour later, the mob in the square became turbulent again. Brigadier Mallaby, at a certain point in the proceedings, ordered the Indians to open fire again. They opened fire with two Bren Guns and the mob dispersed and went to cover; then fighting broke out again in good earnest. It is apparent that when Brigadier Mallaby gave the order to open fire again, the truce was in fact broken, at any rate locally. Twenty minutes to half an hour after that, he was unfortunately killed in his car –although it is not absolutely certain whether he was killed by Indonesians who were approaching his car; which exploded simultaneously with the attack on him.
I do not think this amounts to charge of foul murder …..because my information came absolutely at first hand from a British officer who was actually on the spot at the moment, whose bona fides I have no reason to question…..”

Di sini Tom Driberg meragukan, bahwa Mallaby terbunuh oleh orang Indonesia. Dia menyatakan:
“….it is not absolutely certain whether he was killed by Indonesians who were approaching his car; which exploded simultaneously with the attack on him.”

Selanjutnya dia juga membantah, bahwa tewasnya Mallaby akibat “dibunuh secara licik” (foully murdered). Kelihatannya pihak pimpinan tentara Inggris -untuk membangkitkan/memperkuat rasa antipati terhadap Indonesia- rela mendegradasi kematian seorang perwira tinggi menjadi “dibunuh secara licik” daripada menyatakan “killed in action” –tewas dalam pertempuran- yang menjadi kehormatan bagi setiap prajurit.
Juga penuturan Venu K. Gopal, waktu itu berpangkat Mayor, yang adalah Komandan Kompi D, Batalion 6, Mahratta. Kompi D ini mengambil tempat pertahanan di Gedung Internatio. Tanggal 8 Agustus 1974, dia menulis kepada J.G.A. Parrot antara lain :
“Let me first give you some background. “D” Coy had been under fire off and on and had already casualties. The firing came from other buildings on the square and by and large we were able to contain it. We could, however, see that armed men barred all the exits from the square.
Meanwhile armed Indonesians swarmed over to the veranda of the building and I had to bluntly tell them that I would fire if they started pressing into the building. By this time I could not see Brigade Mallaby or the LOs (Liaison Officers) because of the crowds on the veranda.
Just then Capt. Shaw and Kundan ( I did not know their names at that time) tried to get into the building but were prevented. Kundan then shouted to the crowd that he would get us surrender and he and Capt.Shaw were then allowed to go into the building if they took an Indonesian officer with them. I allowed them in hoping to play for time. After a little time Kundan went out of the building, leaving Capt. Shaw and the Indonesian Officer behind.
Soon thereafter the armed men started pushing in and I was left with no option but to open fire. The Decision was mine and mine alone. Capt. Smith is correct when he says that BM (Mallaby-pen.) did not give any orders to Capt. Shaw..”

Dengan pengakuan Mayor Gopal, Komandan Kompi D yang bertahan di Gedung Internatio, sekarang terbukti, bahwa yang memulai menembak adalah pihak Inggris; tetapi kelihatannya dia masih ingin melindungi bekas atasannya dengan menggarisbawahi, bahwa perintah menembak tersebut adalah keputusannya sendiri. Ini jelas bertentangan dengan kesaksian T.D. Kundan, yang diperkuat dengan kesaksian seorang perwira Inggris melalui Tom Driberg. Dengan pengakuan ini terlihat jelas, bahwa Inggris pada waktu itu memutar balikkan fakta dan menuduh bahwa gencatan senjata telah dilanggar pihak Indonesia (the truce which had been broken). Di dalam situasi tegang bunyi ledakan ataupun tembakan akan menimbulkan kepanikan pada kelompok-kelompok yang masih diliputi suasana tempur, sehingga tembakan tersebut segera dibalas; maka pertempuran di seputar Gedung Internatio pun pecah lagi.
Dari pengakuan kedua perwira Inggris tersebut telah jelas, bahwa pemicu terjadinya tembak-menembak adalah pihak Inggris sendiri. Dugaan ini sebenarnya tepat, bila disimak jalan pikiran Mallaby, seperti dituliskan oleh Capt. Smith:
“…He (Mallaby, red.) did not believe in the safe-conducts in so far as it applied to us, but thought that some at least of the Company might get away. Accordingly Capt. Shaw was sent into the building to give the necessary orders…..”

Sebelum itu, menurut Smith, telah terjadi perbedaan pendapat antara Kapten Shaw dan Mallaby mengenai permintaan para pemuda Indonesia, agar tentara Inggris meninggalkan persenjataan mereka di dalam gedung. Awalnya, Kapten Shaw menyetujui permintaan ini, tetapi Mallaby kemudian membatalkannya. Smith :
“…Eventually, the mob demanded that the troops in the building laid (sic) down their arms and marched (sic) out: they and us (sic) guaranteed a safeconduct back to the air field. The Brigadier flatly refused to consider this proposal. After further pressure, however, Capt.Shaw, who was well known to some of the indonesians through his job as FSO, and who had been a considerable strain since our arrival in Surabaya, agreed to the terms on his own responsibility. The Brigadier at once countemanded this………”

Uraian Tom Driberg di Parlemen Inggris (House of Commons) kelihatannya keterangannya diperoleh dari KaptenShaw
Kemudian tuduhan kedua, bahwa orang Indonesia “secara licik membunuh Mallaby”, perlu diteliti lebih lanjut. Di pihak Indonesia banyak orang mengaku bahwa dialah yang menembak Mallaby. Hj. Lukitaningsih I. Rajamin-Supandhan mencatat, ada sekitar 12 orang yang mengaku sebagai yang menembak Mallaby. Namun menurut penilaian beberapa pelaku sejarah, dari sejumlah keterangan yang diberikan, cerita yang benar kemungkinan besar yang disampaikan oleh Abdul Azis. (Lihat: Barlan Setiadijaya, 10 November 1945…., hlm. 429-435.) Dul Arnowo mencatat laporan seorang saksi mata, Ali Harun, yang kemudian diteruskan ke Presiden Sukarno. Surat tersebut dibawa oleh Kolonel dr. W. Hutagalung ke Jakarta, dan diserahkan langsung kepada Presiden Sukarno pada tanggal 8 November 1945.
Dari berbagai penuturan, memang benar adanya penembakan dengan menggunakan pistol oleh seorang pemuda Indonesia ke arah Mallaby, tetapi tidak ada seorang pun yang dapat memastikan, bahwa Mallaby memang tewas akibat tembakan tersebut. Yang menarik untuk dicermati adalah pengakuan Kapten R.C. Smith dari Batalyon 6, Resimen Mahratta, yang pada waktu itu menjabat sebagai Liaison Officer Brigade 49. Tanggal 31 Oktober, dia memberikan laporannya yang pertama, kemudian pada bulan Februari, sehubungan dengan keterangan Tom Driberg di House of Commons. Laporan Smith dimuat oleh J.G.A. Parrot, dalam analisisnya, Who Killed Brigadier Mallaby? Kapten R.C. Smith menulis:

"10 november`45

Tulisan ini merupakan cuplikan dari buku Batara R. Hutagalung: “10 November ’45. Mengapa Inggris Membom Surabaya?" Millenium Publisher, Jakarta Oktober 2001, xvi + 472 halaman.


Pertempuran 28 – 30 Oktober 1945
Pada bulan Agustus 1943 di Quebec, Kanada, dicapai kesepakatan antara Presiden Roosevelt dan Perdana Menteri Inggris Churchill, untuk membentuk South East Asia Command (SEAC –Komando Asia Tenggara), dan mulai tanggal 16 November, SEAC di bawah pimpinan Vice Admiral Lord Louis Mountbatten. Wewenang SEAC meliputi Sri Lanka, sebagian Assam, Birma, Thailand, Sumatera, dan beberapa pulau kecil di Lautan Hindia.
Pulau-pulau lain dari wilayah bekas Hindia Belanda berada di bawah wewenang Letnan Jenderal Douglas MacArthur, Panglima tentara Sekutu Komando Wilayah Pasifik Baratdaya (South West Pacific Area Command – SWPAC).
Setelah Jepang menyerah pada 15 Agustus 1945, MacArthur diperintahkan untuk segera membawa pasukannya ke Jepang, dan kewenangan atas wilayah SWPAC diserahkan kepada Mountbatten.
Mengenai penambahan tugas yang diberikan kepadanya, Mountbatten menulis:
“Having taken over the NEI (Netherlands East Indies – pen.) from the South-West Pacific Area without any intelligence reports, I had been given no hint of the political situation which had arisen in Java. It was known of course, that an Indonesian Movement had been in existence before the war; and that it had been supported by prominent intellectuals, some of whom had suffered banishment for their participation in nationalist propaganda –but no information had been made available to me as to the fate of this movement under the Japanese occupation.
Dr. H.J. van Mook, Lieut.-Governor-General of the NEI who had come to Kandy on 1st September, had given me no reason to suppose that the reoccupation of Java would present any operational problem beyond the of rounding up the Japanese.”
Catatan Admiral Lord Mountbatten tersebut menunjukkan dengan jelas, bahwa informasi yang diberikan oleh Dr. van Mook kepada Mountbatten salah dan menyesatkan sehingga berakibat sangat fatal, bukan saja bagi rakyat Indonesia, namun juga bagi tentara Inggris, sebagaimana kemudian dialami oleh Brigade 49 di Surabaya bulan Oktober 1945.
Secara resmi, tugas pokok yang diberikan oleh pimpinan Allied Forces kepada Mountbatten adalah:
1. melucuti tentara Jepang serta mengatur pulangkan kembali ke negaranya (The disarmament and removal of the Japanese Imperial Forces),
2. membebaskan para tawanan serta interniran Sekutu yang ditahan oleh Jepang di Asia Tenggara (RAPWI - Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees), termasuk di Indonesia, serta
3. menciptakan keamanan dan ketertiban (Establishment of law and order).
Namun di kemudian hari, ternyata ada tugas rahasia yang dilakukan oleh tentara Inggris -dengan mengatasnamakan Sekutu- yaitu mengembalikan Indonesia sebagai jajahan kepada Belanda. Pada waktu itu, para pemimpin Indonesia belum mengetahui adanya hasil keputusan konferensi Yalta yang sehubungan dengan Asia, yaitu mengembalikan situasi kepada status quo, seperti sebelum invasi Jepang tahun 1941; dan juga belum diketahui ada perjanjian bilateral antara Belanda dan Inggris di Chequers, mengenai komitmen bantuan Inggris kepada Belanda. Selain itu, pernyataan kontroversial yang dikeluarkan oleh Jenderal Sir Philip Christison di Singapura sebelum berangkat ke Jakarta –mungkin waktu itu pernyataan tersebut tulus disampaikannya- telah membesarkan hati pimpinan Republik Indonesia. Dengan demikian boleh dikatakan, bahwa para pemimpin Republik Indonesia waktu itu terkecoh oleh Inggris.
Mungkin jalan sejarah akan lain, apabila waktu itu telah diketahui isi surat Mountbatten kepada komandan-komandan pasukan, terutama apabila pimpinan Republik Indonesia telah mengetahui adanya kesepakatan Inggris dengan Belanda di Chequers tanggal 24 Agustus 1945. Apabila hal-hal tersebut telah diketahui pada waktu itu, dapat dipastikan bahwa para pimpinan Republik –terutama dari garis keras- tidak akan menerima perdaratan tentara Sekutu, yang di banyak tempat ternyata membawa perwira dan serdadu Belanda dengan berkedok RAPWI. Paling sedikit, perlawanan bersenjata telah dimulai di seluruh Indonesia sejak September 1945, dan tidak pada akhir bulan Oktober/awal November, di mana tiga divisi British-Indian Divisions secara lengkap telah mendarat di Jawa dan Sumatera.
Untuk pelaksanaan tugasnya, Mountbatten membentuk Allied Forces in the Netherlands East Indies (AFNEI) –Tentara Sekutu di Hindia Belanda; dan jabatan Komandan AFNEI, semula dipegang oleh Rear Admiral Sir Wilfred Patterson, yang kemudian digantikan oleh Letnan Jenderal Sir Philip Christison, juga seorang bangsawan Inggris. Christison sendiri baru tiba di Jakarta tanggal 30 September 1945. Pasukan yang akan ditugaskan adalah British-Indian Divisions, yaitu Divisi 5 di bawah Mayor Jenderal Robert C. Mansergh untuk Jawa Timur, Divisi 23 di bawah Mayor Jenderal Douglas Cyril Hawthorn untuk Jawa Barat dan Tengah dan Divisi ke 26 di bawah Mayor Jenderal H.M. Chambers untuk Sumatera.
Brigade 49, dengan julukannya “The Fighting Cock” di bawah pimpinan Brigadir Jenderal Aubertin Walter Sothern Mallaby, 42 tahun, mendarat di surabaya tanggal 25 Oktober 1945. Brigade 49 adalah bagian dari Divisi 23, yang seharusnya ditugaskan untuk Jawa Barat dan Jawa Tengah, namun karena Divisi 5 yang seharusnya ditugaskan ke Jawa Timur, masih tertahan di Malaysia, oleh karena itu, Mallaby diperintahkan untuk segera ke Surabaya.
Pada tanggal 27 Oktober 1945 sekitar pukul 11.00, satu pesawat terbang Dakota yang datang dari Jakarta, menyebarkan pamflet di atas kota Surabaya. Isi pamflet -atas instruksi langsung dari Mayor Jenderal Hawthorn, panglima Divisi 23- yang disebarkan di seluruh Jawa, memerintahkan kepada seluruh penduduk untuk dalam waktu 2 x 24 jam menyerahkan semua senjata yang mereka miliki kepada Perwakilan sekutu di Surabaya, yang praktis ketika itu hanya diwakili tentara Inggris. Dalam seruan tersebut tercantum a.l.:
“Supaya semua penduduk kota Surabaya dan Jawa Timur menyerahkan kembali semua senjata dan peralatan Jepang kepada tentara Inggris….Barangsiapa yang memiliki senjata dan menolak untuk menyerahkannya kepada tentara Sekutu, akan ditembak di tempat (persons beeing arms and refusing to deliver them to the Allied Forces are liable to be shot).”

Dikabarkan, bahwa Mallaby sendiri terkejut dengan isi pamflet, karena jelas bertentangan dengan kesepakatan antara pihak Inggris dan Indonesia tanggal 26 Oktober, sehari sebelum pamflet tersebut disebarkan. Namun pimpinan brigade Inggris mengatakan, mereka terpaksa melakukan perintah atasan. Mereka mulai menahan semua kendaraan dan menyita senjata dari pihak Indonesia. Maka berkobarlah api kemarahan di pihak Indonesia, karena mereka menganggap pihak Inggris telah melanggar kesepakatan yang ditandatangani tanggal 26 Oktober. Di samping itu langkah-langkah Inggris yang akan mendudukkan Belanda kembali sebagai penguasa di Indonesia kian nyata. Gubernur Suryo segera mengirim kawat yang disusul dengan laporan panjang lebar ke Pemerintah Pusat di Jakarta. Jawaban baru diterima sekitar pukul 15.00 dan berbunyi:
“Diminta kebijaksanaan Pemerintah Jawa Timur setempat agar pihak ketentaraan dan para pemuda-pemudanya tidak melakukan perlawanan terhadap tentara Sekutu…”

Gubernur Suryo tidak berhasil menemui Mayor Jenderal drg. Mustopo, lalu menyerahkan kawat tersebut kepada Residen Sudirman. Tepat pukul 17.00, Residen Sudirman tiba di markas Divisi TKR Surabaya di Jalan Embong Sawo dan menyerahkan kawat tersebut kepada komandan Divisi, Mayor Jenderal Yonosewoyo.
Tak lama kemudian, datang Kolonel Pugh, yang menyampaikan pendirian Brigadier Mallaby mengenai seruan pamflet terrsebut, bahwa Mallaby akan melaksanakan tugas, sesuai perintah dari Jakarta. Pugh kembali ke markasnya, tanpa mendapat jawaban dari pimpinan Divisi TKR.
Setelah kepergian Kolonel Pugh, dilakukan perundinngan sekitar setengah jam antara Residen Sudirman dan Panglima Divisi Yonosewoyo, dengan keputusan: “Komando Divisi Surabaya akan segera memberikan jawaban terhadap ultimatum tersebut secara militer.”
Dalam pertemuan kilat pimpinan Divisi TKR Surabaya, dibahas berbagai pertimbangan dan diperhitungkan beberapa kemungkinan yang akan terjadi. Apabila mereka menyerahkan senjata kepada Sekutu, berarti pihak Indonesia akan lumpuh, karena tidak mempunyai kekuatan lagi. Apabila tidak menyerahkan senjata, ancamannya akan ditembak di tempat oleh pasukan Inggris/ Sekutu.
Kubu Indonesia memperhitungkan, pihak Inggris tidak mengetahui kekuatan pasukan serta persenjataan lawannya. Sedangkan telah diketahui dengan jelas, bahwa kekuatan Inggris hanyalah satu brigade, atau sekitar 5.000 orang. Artinya, kekuatan musuh jauh di bawah kekuatan Indonesia di Surabaya dan sekitarnya, yang memiliki pasukan bersenjata kurang lebih 30.000 orang. Jenis senjata yang dimiliki mulai dari senjata ringan hingga berat, termasuk meriam dan tank peninggalan Jepang yang, sebagian terbesar masih utuh. Selain kekuatan pasukan terbatas, pasukan Inggris yang baru 2 hari mendarat, dipastikan tak mengerti liku-liku kota Surabaya.
Sesuai dengan strategi Carl von Clausewitz, pakar teori militer Prusia, bahwa: ”Angriff ist die beste Verteidigung” (Menyerang adalah pertahanan yang terbaik), maka dengan suara bulat diputuskan: “Menyerang Inggris!”.
Perintah diberikan langsung oleh Komandan Divisi Surabaya, Mayor Jenderal Yonosewoyo. Subuh baru merekah. Serangan besar-besaran pun mulai dilancarkan pada hari Minggu, 28 Oktober pukul 4.30 dengan satu tekad, tentara Inggris yang membantu Belanda, harus dihalau dari Surabaya, dan penjajah harus dipaksa angkat kaki dari bumi Indonesia. Praktis seluruh kekuatan bersenjata Indonesia yang berada di Surabaya bersatu. Juga pasukan-pasukan dan sukarelawan Palang Merah/kesehatan dari kota-kota lain di Jawa Timur a.l. dari Sidoarjo, Gresik, Jombang dan Malang berdatangan ke Surabaya untuk membantu.
Hal ini benar-benar di luar perhitungan Inggris, terutama mereka tidak mengetahui kekuatan dan persenjataan pihak Indonesia. Selama ini, informasi yang mereka peroleh mengenai Indonesia, hanya dari pihak Belanda, sedangkan Belanda sendiri diperkirakan tidak mengetahui perkembangan yang terjadi di Surabaya –di Indonesia pada umumnya- sejak Belanda menyerah kepada Jepang tanggal 8 Maret 1942. Sebagian terbesar dari mereka diinternir oleh Jepang, dan baru dibebaskan pada akhir Agustus 1945. Nampaknya, informasi yang diberikan oleh Belanda kepada Inggris sangat minim, atau salah.
Di samping BKR/TKR yang menjadi cikalbakal TNI, juga tercatat sekitar 60 pasukan dan laskar yang didirikan oleh para pemuda atau karyawan berbagai profesi, Pasukan Pelajar (TRIP), Pasukan BKR Tanjung Perak, Pasukan Kimia TKR, Pasukan Genie Tempur (Genie Don Bosco), Pasukan BKR Kereta Api, Pasukan BKR Pekerjaan Umum, Pasukan Sriwijaya, Pasukan Buruh Laut, Pasukan Sawunggaling, TKR Laut, Barisan Hizbullah, Lasykar Minyak, TKR Mojokerto, TKR Gresik, Pasukan Jarot Subiantoro, Pasukan Magenda Bondowoso, Pasukan Sadeli Bandung. Selain itu ada pula pasukan-pasukan pembantu seperti Corps Palang Merah, Corps Kesehatan, Corps PTT, Corps Pegadaian, bahkan ada juga Pasukan Narapidana Kalisosok, dll. Puluhan kelompok pemuda yang berasal dari suku tertentu membentuk pasukan sendiri, seperti misalnya Pasukan Pemuda Sulawesi (KRIS-Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi), Pasukan Pemuda Kalimantan, Pemuda Ponorogo, dan juga ada Pasukan Sriwijaya, yang sebagian terbesar terdiri dari pemuda mantan Gyugun (sebutan Heiho di Sumatera) dari Batak dan ada juga yang dari Aceh. Pasukan Sriwijaya ini telah mempunyai pengalaman bertempur melawan tentara Sekutu di Morotai, Halmahera Utara.
Bukan saja BKR/TKR yang menjadi cikalbakal Angkatan Darat, melainkan dibentuk juga pasukan Laut dan Udara. Tercatat a.l. Pasukan BKR Laut/TKR Laut Tanjung Perak, Pasukan Angkatan Muda Penataran Angkatan Laut, Pasukan BKR/TKR Udara di Morokrembangan.
Selain pasukan-pasukan yang bersenjata, diperkirakan lebih dari 100.000 pemuda dari Surabaya dan sekitarnya, hanya dengan bersenjatakan bambu runcing dan clurit ikut dalam pertempuran selama tiga hari. Kebanyakan dari mereka yang belum memiliki senjata, bertekad untuk merebut senjata dari tangan tentara Inggris.
Selain para wanita yang rela berkorban sebagai anggota Palang Merah, juga tak dapat diabaikan peran serta ibu-ibu juru masak dan yang membantu di dapur umum yang didirikan untuk kepentingan para pejuang Republik Indonesia. Para pejuang dan sukarelawan itu bukan hanya penduduk Surabaya, melainkan berdatangan dari kota-kota lain di sekitar Surabaya, seperti Gresik, Jombang, Sidoarjo, Pasuruan, Bondowoso, Ponorogo bahkan dari Mojokerto, Malang, pulau Madura, dan Bandung.
Inggris Mengibarkan Bendera Putih
Serbuan ke pos-pos pertahanan Inggris di tengah kota dilengkapi dengan blokade total: Aliran listrik dan air di wilayah pos pertahanan Inggris dimatikan. Truk-truk yang mengangkut logistik untuk pasukan Inggris, terutama yang akan mengantarkan makanan dan minuman bisa dicegah. Kekacauan demi kekacauan menyebabkan suplai yang dijatuhkan pesawat Inggris dari udara, ikut pula terganggu. Tidak sedikit yang meleset dari sasaran, bahkan boleh dikatakan hampir semua jatuh ke tangan pasukan Indonesia.
Dalam penyerbuan itu, korban di pihak Indonesia tidak sedikit, sebab berbagai pasukan –khususnya laskar pemuda- tanpa pendidikan militer dan pengalaman tempur, hanya bermodalkan semangat dan banyak yang hanya bersenjatakan clurit atau bambu runcing, begitu bersemangat maju menggempur musuh yang notabene tentara profesional.
Dengan bermodalkan keberanian serta semangat ingin mempertahankan kemerdekaan dan tak mau dijajah lagi, para pejuang Indonesia akhirnya mampu memporak-porandakan kubu Inggris. Setelah dua hari tidak menerima kiriman makanan dan minuman, serta korban yang jatuh di pihak mereka sangat besar, pasukan Inggris akhirnya mengibarkan bendera putih, meminta berunding.
Mallaby menyadari, bila pertempuran dilanjutkan, tentara Inggris akan disapu bersih, seperti tertulis dalam kesaksian Capt. R.C. Smith:
“…….. on further consideration, he (Mallaby, red.) decided that the company had been in so bad a position before, that any further fighting would lead to their being wiped out. "

Walaupun ia sadari tidak ada pilihan lain, tetapi ketika persyaratan yang diajukan Indonesia antara lain Inggris harus angkat kaki dari Surabaya dan meninggalkan persenjataan yang ada di pos-pos pertahanan yang telah dikepung, Mallaby menilai tampaknya terlalu berat baginya sebagai pimpinan tentara yang baru memenangkan Perang Dunia II untuk melakukan hal itu.

Presiden Sukarno Diminta Melerai “Insiden Surabaya”
Ternyata pada hari pertama penyerbuan rakyat Indonesia terhadap pos-pos pertahanan tentara Inggris di Surabaya, pimpinan tentara Inggris menyadari, bahwa mereka tidak akan kuat menghadapi gempuran rakyat Indonesia di Surabaya. Mallaby (lihat kesaksian Kapten R.C. Smith) memperhitungkan, bahwa Brigade 49 ini akan “wiped out” (disapu bersih), sehingga pada malam hari tanggal 28 Oktober 1945, mereka segera menghubungi pimpinan tertinggi tentara Inggris di Jakarta untuk meminta bantuan. Menurut penilaian pimpinan tertinggi tentara Inggris, hanya Presiden Sukarno yang sanggup mengatasi situasi seperti ini di Surabaya. Kolonel. A.J.F. Doulton menulis:
”The heroic resistance of the british troops could only end in the extermination of the 49th Brigade, unless somebody could quell the passion of the mob. There was no such person in Surabaya and all hope rested on the influence of Sukarno.” (Perlawanan heroik tentara Inggris hanya akan berakhir dengan musnahnya Brigade 49, kecuali ada yang dapat mengendalikan nafsu rakyat banyak itu. Tidak ada tokoh seperti itu di Surabaya dan semua harapan tertumpu pada pengaruh Sukarno).

Panglima Tertinggi Tentara Sekutu untuk Asia Timur, Letnan Jenderal Sir Philip Christison meminta Presiden Sukarno untuk melerai “incident” di Surabaya. Pimpinan tentara Inggris menilai, situasi di Surabaya sangat mengkhawatirkan bagi mereka, sehingga Presiden Sukarno yang sedang tidur, didesak agar segera dibangunkan. Dalam Autobiografi yang ditulis oleh Cindy Adams, Sukarno menuturkan:
“Tukimin yang setia berbisik-bisik. Itu ada seorang yang menamakan dirinya Pembantu Khusus (ADC - aide-de-camp = perwira pembantu –pen.) dari komandan Tentara Inggris. Ia menyatakan, bahwa ada persoalan yang amat penting. Kepadanya telah saya jawab, bahwa Bapak sedang tidur, tetapi ia mendesak agar supaya saya membangunkan Bapak.
Akhirnya setelah saya bangun, selama 30 menit terpaksa berbicara melalui telepon. Tetapi tidak sepatah kata pun apa yang sedang menggelisahkan perasaan saya dari pembicaraan telepon itu saya ungkapkan kepada intern keluarga saya, baik Fatmawati maupun kepada Tukimin. Saya hanya menyatakan bahwa besok pagi saya akan ke Surabaya dengan kapal terbang militer kepunyaan Inggris. Dan kemudian saya kembali ke kamar tidur, dan pelan-pelan menutup pintu.
Saya dengan Hatta, yang baru saja dipilih menjadi Wakil Presiden, selama lebih kurang 2 jam berbicara dengan pihak Sekutu Inggris, tetapi pihak Inggris mengharapkan saya, sebab saya dibutuhkan. Dan saya tahu, bahwa tidak akan ada sesuatu pun yang akan dapat menghentikan persoalan ini.
Di Surabaya, ternyata Inggris telah menempatkan markasnya di gedung-gedung di tengah kota Surabaya sebagai pusatnya….”
infrared_studioOct 3 2008, 08:01 PM
Pada 29 Oktober 1949 di Kompleks Darmo, Kapten Flower yang telah mengibarkan bendera putih, masih ditembaki oleh pihak Indonesia; untung dia selamat, tidak terkena tembakan. Kapten Flower, yang ternyata berkebangsaan Australia, kemudian diterima oleh Kolonel dr. Wiliater Hutagalung. Hutagalung mem-fait accompli, dengan menyatakan:
“We accept your unconditional surrender!”,
dan mengatakan, bahwa pihak Indonesia akan membawa tentara Inggris -setelah dilucuti- kembali ke kapal mereka di pelabuhan.
Pimpinan Republik Indonesia di Jakarta pada waktu itu tidak menghendaki adanya konfrontasi bersenjata melawan Inggris, apalagi melawan Sekutu. Pada 29 Oktober sore hari, Presiden Sukarno beserta Wakil Presiden M. Hatta dan Menteri Penerangan Amir Syarifuddin Harahap, tiba di Surabaya dengan menumpang pesawat militer yang disediakan oleh Inggris. Segera hari itu juga Presiden Sukarno bertemu dengan Mallaby di gubernuran. Malam itu dicapai kesepakatan yang dituangkan dalam “Armistic Agreement regarding the Surabaya-incident; a provisional agreement between President Soekarno of the Republic Indonesia and Brigadier Mallaby, concluded on the 29th October 1945.” Isinya a.l.:
· Perjanjian diadakan antara Panglima Tentara Pendudukan Surabaya dengan PYM Ir. Sukarno, Presiden Republik Indonesia untuk mempertahankan ketenteraman kota Surabaya.
· Untuk menenteramkan, diadakan perdamaian: ialah tembakan-tembakan dari kedua pihak harus diberhentikan.
· Syarat-syarat termasuk dalam surat selebaran yang disebarkan oleh sebuah pesawat terbang tempo hari (yang dimaksud adalah pada tanggal 27 Oktober 1945) akan diperundingkan antara PYM Ir Sukarno dengan Panglima Tertinggi Tentara pendudukan seluruh Jawa pada tanggal 30 Oktober besok.

Mayjen Hawthorn tiba tanggal 30 Oktober pagi hari. Perundingan yang juga dilakukan di gubernuran segera dimulai, antara Presiden Sukarno dengan Hawthorn, yang juga adalah Panglima Divisi 23 Inggris. Dari pihak Indonesia, tuntutan utama adalah pencabutan butir dalam ultimatum/pamflet tanggal 27 Oktober, yaitu penyerahan senjata kepada tentara Sekutu; sedangkan tentara Sekutu menolak memberikan senjata mereka kepada pihak Indonesia. Perundingan alot, yang dimulai sejak pagi hari dan baru berakhir sekitar pukul13.00, menghasilkan kesepakatan, yang kemudian dikenal sebagai kesepakatan Sukarno – Hawthorn. Isi kesepakatan antara lain:
· The Proclamation previously scatttered by aircraft shall be annulled; that is to say, the disarmament of the TKR and the Pemudas shall not be carried out.
· The Allied forces shall not guard the city.
The TKR shall be recognized; its continued use of arms shall be allowed.
Yang terpenting bagi pihak Indonesia dalam kesepakatan ini adalah pencabutan perintah melalui pamflet tertanggal 27 Oktober dan pengakuan terhadap TKR yang bersenjata.

Brigadir Jenderal Mallaby Tewas
Setelah disepakati truce (gencatan senjata) tanggal 30 Oktober, pimpinan sipil dan militer pihak Indonesia, serta pimpinan militer Inggris bersama-sama keliling kota dengan iring-iringan mobil, untuk menyebarluaskan kesepakatan tersebut. Dari 8 pos pertahanan Inggris, 6 di antaranya tidak ada masalah, hanya di dua tempat, yakni di Gedung Lindeteves dan Gedung Internatio yang masih ada permasalahan/tembak-menembak.
Setelah berhasil mengatasi kesulitan di Gedung Lindeteves, rombongan Indonesia-Inggris segera menuju Gedung Internatio, pos pertahanan Inggris terakhir yang bermasalah. Ketika rombongan tiba di lokasi tersebut, nampak bahwa gedung tersebut dikepung oleh ratusan pemuda. Setelah meliwati Jembatan Merah, tujuh kendaraan memasuki area dan berhenti di depan gedung. Para pemimpin Indonesia segera ke luar kendaraan dan meneriakkan kepada massa, supaya menghentikan tembak-menembak.
Kapten Shaw, Mohammad Mangundiprojo dan T.D. Kundan ditugaskan masuk ke gedung untuk menyampaikan kepada tentara Inggris yang bertahan di dalam gedung, hasil perundingan antara Inggris dengan Indonesia. Mallaby ada di dalam mobil yang diparkir di depan Gedung Internatio. Beberapa saat setelah rombongan masuk, terlihat T.D. Kundan bergegas keluar dari gedung, dan tak lama kemudian, terdengar bunyi tembakan dari arah gedung. Tembakan ini langsung dibalas oleh pihak Indonesia. Tembak-menembak berlangsung sekitar dua jam. Setelah tembak-menembak dapat dihentikan, terlihat mobil Mallaby hancur dan Mallaby sendiri ditemukan telah tewas.
Ada dua kejadian pada tanggal 30 Oktober 1945, yang pada waktu itu dilemparkan oleh Inggris ke pihak Indonesia, sebagai yang bertanggung jawab, dan kemudian dijadikan alasan Mansergh untuk “menghukum para ekstremis” dengan mengeluarkan ultimatum tanggal 9 November 1945:
1. Orang-orang Indonesia memulai penembakan, dan dengan demikian telah melanggar gencatan senjata (truce),
2. Orang-orang Indonesia membunuh Brigadier Mallaby.
Tewasnya Mallaby memang sangat kontroversial, tetapi mengenai siapa yang memulai menembak, di kemudian hari cukup jelas. Kesaksian tersebut justru datangnya dari pihak Inggris. Ini berdasarkan keterangan beberapa perwira Inggris yang diberikan kepada beberapa pihak. Yang paling menarik adalah yang disampaikan kepada Tom Driberg, seorang Anggota Parlemen Inggris dari Partai Buruh (Labour). Pada 20 Februari 1946, dalam perdebatan di Parlemen (House of Commons) Tom Driberg, menyampaikan:
“….. some of the press reports from Indonesia have been entirely responsible. In particular, I have learned from officers who have recently returned that some of the stories which have been told, not only in the newspaper, but, I am sorry to say, from the Government Front Bench in his House, have been very far from accurate and have innecessarily imparted prejudice and concerns the lamented death of Brigadier Mallaby. That was announced to us as a foul murder, and we accepted it as such. I have learned from officers who were present when it happened the exact details and it is perfectly clear that Brigadier Mallaby was not murdered but was honourably killed in action……. The incident was somewhat confused –as such incidents are- but it took place in and near Union Square in Surabaya. There had been discussions about a truce earlier in the day. A large crowd of Indonesians –a mob if you like- had gathered in the square and were in a rather excited state.
About 20 Indians, in a building on the other side of the square, had been cut off from telephonic communication and did not know about the truce. They were firing sporadically on the mob. Brigadier Mallaby came out from the discussions, walked straight into the crowd, with great courage, and shouted to the Indians to cease fire. They obeyed him. Possibly half an hour later, the mob in the square became turbulent again. Brigadier Mallaby, at a certain point in the proceedings, ordered the Indians to open fire again. They opened fire with two Bren Guns and the mob dispersed and went to cover; then fighting broke out again in good earnest. It is apparent that when Brigadier Mallaby gave the order to open fire again, the truce was in fact broken, at any rate locally. Twenty minutes to half an hour after that, he was unfortunately killed in his car –although it is not absolutely certain whether he was killed by Indonesians who were approaching his car; which exploded simultaneously with the attack on him.
I do not think this amounts to charge of foul murder …..because my information came absolutely at first hand from a British officer who was actually on the spot at the moment, whose bona fides I have no reason to question…..”

Di sini Tom Driberg meragukan, bahwa Mallaby terbunuh oleh orang Indonesia. Dia menyatakan:
“….it is not absolutely certain whether he was killed by Indonesians who were approaching his car; which exploded simultaneously with the attack on him.”

Selanjutnya dia juga membantah, bahwa tewasnya Mallaby akibat “dibunuh secara licik” (foully murdered). Kelihatannya pihak pimpinan tentara Inggris -untuk membangkitkan/memperkuat rasa antipati terhadap Indonesia- rela mendegradasi kematian seorang perwira tinggi menjadi “dibunuh secara licik” daripada menyatakan “killed in action” –tewas dalam pertempuran- yang menjadi kehormatan bagi setiap prajurit.
Juga penuturan Venu K. Gopal, waktu itu berpangkat Mayor, yang adalah Komandan Kompi D, Batalion 6, Mahratta. Kompi D ini mengambil tempat pertahanan di Gedung Internatio. Tanggal 8 Agustus 1974, dia menulis kepada J.G.A. Parrot antara lain :
“Let me first give you some background. “D” Coy had been under fire off and on and had already casualties. The firing came from other buildings on the square and by and large we were able to contain it. We could, however, see that armed men barred all the exits from the square.
Meanwhile armed Indonesians swarmed over to the veranda of the building and I had to bluntly tell them that I would fire if they started pressing into the building. By this time I could not see Brigade Mallaby or the LOs (Liaison Officers) because of the crowds on the veranda.
Just then Capt. Shaw and Kundan ( I did not know their names at that time) tried to get into the building but were prevented. Kundan then shouted to the crowd that he would get us surrender and he and Capt.Shaw were then allowed to go into the building if they took an Indonesian officer with them. I allowed them in hoping to play for time. After a little time Kundan went out of the building, leaving Capt. Shaw and the Indonesian Officer behind.
Soon thereafter the armed men started pushing in and I was left with no option but to open fire. The Decision was mine and mine alone. Capt. Smith is correct when he says that BM (Mallaby-pen.) did not give any orders to Capt. Shaw..”

Dengan pengakuan Mayor Gopal, Komandan Kompi D yang bertahan di Gedung Internatio, sekarang terbukti, bahwa yang memulai menembak adalah pihak Inggris; tetapi kelihatannya dia masih ingin melindungi bekas atasannya dengan menggarisbawahi, bahwa perintah menembak tersebut adalah keputusannya sendiri. Ini jelas bertentangan dengan kesaksian T.D. Kundan, yang diperkuat dengan kesaksian seorang perwira Inggris melalui Tom Driberg. Dengan pengakuan ini terlihat jelas, bahwa Inggris pada waktu itu memutar balikkan fakta dan menuduh bahwa gencatan senjata telah dilanggar pihak Indonesia (the truce which had been broken). Di dalam situasi tegang bunyi ledakan ataupun tembakan akan menimbulkan kepanikan pada kelompok-kelompok yang masih diliputi suasana tempur, sehingga tembakan tersebut segera dibalas; maka pertempuran di seputar Gedung Internatio pun pecah lagi.
Dari pengakuan kedua perwira Inggris tersebut telah jelas, bahwa pemicu terjadinya tembak-menembak adalah pihak Inggris sendiri. Dugaan ini sebenarnya tepat, bila disimak jalan pikiran Mallaby, seperti dituliskan oleh Capt. Smith:
“…He (Mallaby, red.) did not believe in the safe-conducts in so far as it applied to us, but thought that some at least of the Company might get away. Accordingly Capt. Shaw was sent into the building to give the necessary orders…..”

Sebelum itu, menurut Smith, telah terjadi perbedaan pendapat antara Kapten Shaw dan Mallaby mengenai permintaan para pemuda Indonesia, agar tentara Inggris meninggalkan persenjataan mereka di dalam gedung. Awalnya, Kapten Shaw menyetujui permintaan ini, tetapi Mallaby kemudian membatalkannya. Smith :
“…Eventually, the mob demanded that the troops in the building laid (sic) down their arms and marched (sic) out: they and us (sic) guaranteed a safeconduct back to the air field. The Brigadier flatly refused to consider this proposal. After further pressure, however, Capt.Shaw, who was well known to some of the indonesians through his job as FSO, and who had been a considerable strain since our arrival in Surabaya, agreed to the terms on his own responsibility. The Brigadier at once countemanded this………”

Uraian Tom Driberg di Parlemen Inggris (House of Commons) kelihatannya keterangannya diperoleh dari KaptenShaw
Kemudian tuduhan kedua, bahwa orang Indonesia “secara licik membunuh Mallaby”, perlu diteliti lebih lanjut. Di pihak Indonesia banyak orang mengaku bahwa dialah yang menembak Mallaby. Hj. Lukitaningsih I. Rajamin-Supandhan mencatat, ada sekitar 12 orang yang mengaku sebagai yang menembak Mallaby. Namun menurut penilaian beberapa pelaku sejarah, dari sejumlah keterangan yang diberikan, cerita yang benar kemungkinan besar yang disampaikan oleh Abdul Azis. (Lihat: Barlan Setiadijaya, 10 November 1945…., hlm. 429-435.) Dul Arnowo mencatat laporan seorang saksi mata, Ali Harun, yang kemudian diteruskan ke Presiden Sukarno. Surat tersebut dibawa oleh Kolonel dr. W. Hutagalung ke Jakarta, dan diserahkan langsung kepada Presiden Sukarno pada tanggal 8 November 1945.
Dari berbagai penuturan, memang benar adanya penembakan dengan menggunakan pistol oleh seorang pemuda Indonesia ke arah Mallaby, tetapi tidak ada seorang pun yang dapat memastikan, bahwa Mallaby memang tewas akibat tembakan tersebut. Yang menarik untuk dicermati adalah pengakuan Kapten R.C. Smith dari Batalyon 6, Resimen Mahratta, yang pada waktu itu menjabat sebagai Liaison Officer Brigade 49. Tanggal 31 Oktober, dia memberikan laporannya yang pertama, kemudian pada bulan Februari, sehubungan dengan keterangan Tom Driberg di House of Commons. Laporan Smith dimuat oleh J.G.A. Parrot, dalam analisisnya, Who Killed Brigadier Mallaby? Kapten R.C. Smith menulis: